Klik

Cari Blog Ini

Get Big Money With Your Website or Blog

Get cash from your website. Sign up as affiliate.

Rabu, 24 Maret 2010

Kunci Kerajaan Surga (4 Langkah Menemukan Kuasa Allah Dalam diri Anda)


Seorang narapidana yang divonis mati karena tindakan kejahatan yang berat pernah berkali-kali lepas dari Sel Penjara.  Orang bertanya-tanya, “koq bisa begitu ya?”, “mungkin punya ilmu hitam menghilang, kali?” Herannya, ia lepas dari Sel Penjara yang berbeda-beda, bahkan tingkat pengamanannya sangat terjaga dan tinggi.
Selidik punya selidik, narapidana ini adalah seseorang yang memiliki banyak uang dari hasil kejahatannya. Ia berhasil menyuap penjaga penjara (sipir) untuk menduplikat kunci pintu sel yang terkunci. Sialnya, sipir tersebut tergiur dengan iming-iming tersebut, dan kemudian penduplikatan kunci pun dilakukan.
Bayangkan! Apa yang terjadi ketika duplikat kunci sel penjara ditangan narapidana tadi? Ya, saya juga berpikir demikian. Ia akan lepas dari sel penjara dalam waktu cepat ataupun lambat. Tanpa hambatan, tanpa tantangan, dan tanpa berdosa. Seperti busway yang meluncur dijalan yang telah disediakan.
Saya tidak hendak mengatakan atau menganjurkan jika anda sebagai narapidana suaplah sipir untuk menduplikat kunci sel penjara. “Tidak!” Yang ingin saya tekankan adalah ketika kunci ada ditangan anda, apapun dapat dilakukan. Sebab, kunci berbicara tentang decision maker (pembuat keputusan). Alat utama untuk menyelesaikan segala sesuatu. Dan, pastinya suatu alat yang sangat berharga.
Jadi, apa dan bagaimana Kunci Kerajaan Sorga itu? Mari bersama-sama kita menjawabnya. Hal ini juga yang merupakan tujuan karya ini ditulis, yaitu memperjelas makna yang belum atau samar-samar pengertiannya, sekaligus menyederhanakannya menjadi makna yang relevan bagi saya, dan Anda khususnya. Tentunya harus memberikan inspirasi dan mengkokohkan iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus.
 
Kunci Kerajaan Sorga
Kunci Kerajaan Sorga dapat dibagi menjadi tiga kata, yaitu “Kunci”, “Kerajaan”, dan “Sorga.” Kunci dapat berbicara tentang alat pembuka atau penutup, wewenang (kuasa), decision maker, dan mungkin dapat pembuka rahasia yang tersembunyi.
Kerajaan biasanya berbicara tentang suatu kumpulan atau komunitas orang, seperti masyarakat, pemerintahan, yang dipimpin oleh satu orang penguasa yang dinamakan raja. Biasanya wewenang penuh ada didalam tangan atau kedaulatan raja, dan bukan rakyat. Zaman dahulu kepemimpinan raja sangat disegani. Sebab, arogansi raja terlihat ketika ia sewenang-wenang untuk melakukan apa saja, apalagi demi kepentingan kekuasaan dan harga dirinya sebagai raja.
Kata sorga, tentunya dalam bahasa Yunani, memiliki pengertian yang beragam. Bisa langit, yang di atas bumi, atau sorga. Pengertian yang paling terdekat dari kata sorga adalah ‘Takhta Allah.” Tempat yang merupakan singgasana Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tempat yang berkuasa. Tempat di mana kehidupan dapat dijalani tanpa suatu titik. Terus, dan terus. Kekal!
Jadi, Kunci Kerajaan sorga berarti suatu wewenang atau kuasa atau suatu alat pembuka kuasa Kerajaan yang dipimpin oleh Allah yang berkuasa. Seseorang yang mau masuk dalam suatu kerajaan yang memiliki “pintu” tersebut harus mempunyai kunci, dan izin resmi untuk memasukinya. Alat pembuka, yang sekaligus berfungsi sebagai alat izin resmi dari Allah. Dan, ini yang dijanjikan Tuhan Yesus kepada Petrus. Mari kita melihat lebih jauh tentang hal ini.

Eksplorasi Matius 16:13-20

Matius 16:13-20 berkata demikian,

“Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapaku yang di sorga. Dan Aku berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapapun bahwa Ia Mesias.”

Konteks ayat di atas dapat dikatakan sebagai suatu dialog (percakapan) antara Tuhan Yesus dengan beberapa orang. Kemungkinan ke-12 murid-Nya. Bisa juga banyak orang yang mengikuti pelayanan Tuhan Yesus saat itu. Catatan Matius dan Markus menerangkan bahwa Yesus dan rombongannya telah sampai ke daerah sekitar Kaisarea Filipi. Lukas mencatat dialog ini terjadi ketika murid-murid menemui Tuhan Yesus ketika Ia sedang berdoa.
Dialog pertama mencatat pertanyaan Yesus mengenai siapa diriNya. Ada banyak orang menafsirkan ayat ini asal-asalan. Penafsiran asal-asalan itu mengatakan bahwa Tuhan Yesus bingung tentang eksistensi diri-Nya sendiri. Asumsinya adalah Yesus bukanlah Mesias karena Ia sendiri bingung siapa diri-Nya.
Penafsiran yang kedua adalah bahwa Tuhan Yesus sedang menguji pemahaman ke-12 murid tentang diri-Nya. Mungkin maksud Tuhan Yesus menanyakan itu dengan satu tujuan agar para murid menilai dengan sendiri siapa diri-Nya. Asumsinya adalah penilaian terletak pada setiap orang tentang Yesus, dan bukan sesuatu yang dipaksakan agar dikatakan. Keinginan Yesus pengakuan itu datang diri setiap pribadi yang mengikuti-Nya, khusus kepada ke-12 murid-Nya.
Penafsiran ketiga adalah bahwa Tuhan Yesus menunjukkan kesombongan-Nya dengan mempertanyakan eksistensi diri-Nya kepada banyak murid. Kesombongan itu contohnya seperti ini: “siapa saya? sayakan yang membuat mujizat? Menyembuhkan orang sakit, lumpuh, dan buta?” Tujuan pertanyaan itu agar semua mengakui Yesus sebagai Mesias yang telah dinanti-nantikan oleh Bangsa Israel, sebagai sosok pemimpin “politik” dan “keagamaan” yang berbeda dari yang lainnya.
Penafsiran pertama jelas sangat tidak tepat dari konteksnya. Ada banyak ayat yang menyangkal akan hal ini. Yesus tidak bingung atas diri-Nya. Ia sadar betul bahwa diri-Nya adalah Anak Allah, dan satu-satunya Pribadi yang dapat mempertemukan manusia berdosa dengan Bapa-Nya. Yesus berkata, “Akulah Jalan dan Kebenaran, dan Hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).
Tetapi kesadaran penuh ini bukanlah indicator untuk mengatakan bahwa Diri-Nya sombong. Tidak! Kesadaran Tuhan Yesus tentang siapa Diri-Nya menunjukkan kapasitas pelayanan bagi dosa manusia. Jadi, alasan kesombongan tidak tepat karena Tuhan membenci orang yang sombong.
Yang tepat adalah alasan kedua. Tuhan Yesus menghendaki setiap orang, khususnya ke-12 murid dengan sendirinya mengakui Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Paulus pernah menuliskan bahwa ciri-ciri orang yang diselamatkan adalah mulut mengaku dan hati percaya. Kedua sinergisitas antara mulut sebagai bukti dan sikap hati sebagai dasar dorongan (motivasi) untuk percaya (Rm. 10:9-10).
Selain alasan di atas, Tuhan Yesus juga hendak memberikan kepastian tentang ketepatan praduga para murid tentang diri-Nya. Sebab, Yohanes Pembaptis, Yeremia, Elia, dan para nabi diyakini dapat mengadakan mujizat yang sama seperti dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tetapi, mereka bukanlah Mesias yang telah dinubuatkan. Tepat pengakuan Petrus yang mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias, anak Allah yang hidup, yang datangnya dari Allah. Dan, ini merupakan dialog yang kedua atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Tuhan Yesus.
Secara pribadi saya tidak mengetahui mengapa dan darimana Petrus mendapatkan keyakinan tentang Tuhan Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Saya juga tidak berani menafsirkan lebih jauh mengapa dan darimana keberanian Petrus mengatakan demikian.
Alasan saya berkata seperti itu karena ditinjau dari sudut situasi masa itu. Diyakini pada masa pra-kehadiran Kristus, banyak orang yang melakukan mujizat-mujizat dan mengaku-aku diri mereka sebagai mesias. Konon, ada banyak orang yang dibunuh karena keberanian mengatakan dirinya Mesias dari Allah, apalagi menunjuk seseorang sebagai utusan dari Tuhan. Bagi Yahudi itu merupakan penghinaan atau penghujatan Allah.
Paling tidak saya, dan juga Anda tentunya, hanya berani menafsirkan pernyataan Petrus tersebut dari konteks yang terdekat, yaitu apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus selanjutnya. Yesus mengatakan “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapaku yang di sorga.”
Dari pernyataan ini kita temukan bahwa pernyataan Petrus tentang Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup bukan berasal dari paradigma religius, hasil belajar atau pengamatannya. Ternyata pernyataan itu berasal dari Bapa. Artinya, Petrus dapat mengatakan demikian karena Allah yang menyatakannya. Petrus hanya sebagai “penyambung lidah Allah” untuk menegaskan belaka siapa diri Yesus, yang tentunya dengan satu tujuan agar ke-12 murid-Nya mengetahuinya dengan jelas.
Kendati pernyataan atau penegasan tersebut dari Allah, Yesus memberikan janji yang luar biasa, yang tentunya akan digenapi dalam Kisah Para Rasul, tentang hadirnya Gereja di dalam dunia ini. Yesus mengatakan Ia akan mendirikan Ekklesia, jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Janji ini merupakan fondasi teori tentang Ekklesiologi.
Apakah hanya ini saja kompensasi yang diberikan Tuhan Yesus kepada Petrus atas pengakuan dirinya tentang siapa Kristus? Tidak! Ada janji yang kedua, yang lebih dahsyat dari yang pertama. Bukan maksud bahwa janji yang pertama tidak dahsyat. Tetapi janji ini merupakan perlengkapan, senjata, ciri khas, otoritas, dan anugerah yang diberikan kepada jemaat Kristus, secara organisme (tubuh Kristus). Janji itu ada di dalam pembahasan selanjutnya.    


“Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”

Pernyataan ini yang merupakan janji kedua. Tuhan menjanjikan suatu “sejenis otoritas atau kuasa” kepada Petrus. Apa yang diperbuat oleh Petrus, hal itu menjadi perhitungan di dalam Sorga. Ketika Petrus mengikatkan kebencian, kedengkian, keserakahan, sorga juga akan memberlakukan sama seperti apa yang dilakukan oleh Petrus terhadap sesamanya.
Apakah Petrus menjadi decision maker atas hadirnya kuasa Tuhan itu? Jawabannya jelas tidak jika dipandang dari perspektif Tuhan. Maksudnya, manusia tidak dapat menjadi “penentu” akan hadirnya kuasa Tuhan. Sebab Tuhan Yesus berkata, “segala kuasa ada pada-Ku (Mat. 28:18). Namun, Petrus, sebagai representative manusia, dapat dipakai oleh Allah untuk menyatakan kuasa-Nya. Dengan begitu, Petrus hanya sebagai alat Tuhan, sama seperti Musa, Elia, Elisa dll, yang menghadirkan kuasa Tuhan pada waktu mengemban tugas dari Allah.
   So, apa pengertian pernyataan Yesus tersebut? Sebelum kita jauh melangkah tentang hal ini, ada baiknya dibahas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan konteks di atas. Karena pengakuan Petrus ini menyangkut bukan hanya kuasa Allah, maka ada hal yang tersembunyi dari pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus tentang KUNCI KERAJAAN SORGA.


MAKNA TERSEMBUNYI
KUNCI KERAJAAN SORGA

          Teks yang mendasari tentang Kunci Kerajaan Sorga memberikan 4 (empat) makna (pengertian) yang dalam bagi kita, khususnya dalam pembahasan karya kecil dan penting ini:

Pertama,
Kunci Kerajaan Sorga Berbicara Tentang
Suatu Proklamasi (freedomship)

          Kunci Kerajaan Sorga Berbicara tentang suatu Proklamasi. Dalam ayat 16, Petrus berkata: “Engkau adalah Mesias,  Anak Allah yang Hidup.” Saya akan menceritakan mengapa ayat ini merupakan suatu makna tentang Kunci Kerajaan Sorga tersebut.
          Pada saat Yesus menjalankan misi-Nya dalam dunia untuk memberitakan Injil Kerajaan, ada banyak hal yang dilakukan oleh Yesus. Dan yang paling sering terjadi adalah mujizat. Kuasa penyembuhan atas orang sakit, pengampunan, penghapusan dosa, dan yang lainnya, membuat orang-orang terpukau dan terpesona. Ditambah lagi hikmat melalui perkataan-Nya yang menguatkan, menghibur, dan memberikan pengharapan pembebasan bagi orang-orang yang tertindas. Hal ini diungkapkan dalam khotbahnya di bukit yang diawali dengan kata “berbahagia.”
          Hikmat dan kuasa yang dilakukan oleh Yesus mengundang pertanyaan tentang siapa dan bagaimana diri-Nya memperoleh kapasitas yang lebih dari yang lain. Pertanyaan dalam hati orang-orang yang mengikuti-Nya, termasuk murid-murid diketahui oleh Yesus. Memang, konteks ini tidak menjelaskan bahwa pertanyaan dalam hati orang-orang mengundang Yesus bertanya tentang siapakah diri-Nya. Tetapi, jika dibandingkan dengan jawaban murid-murid tersebut, banyak orang menyangka bahwa Yesus merupakan sosok yang sama dengan Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, atau nabi-nabi yang lain, yang pernah mereka ketahui dan kenal.
          Tapi, Tuhan Yesus kembali bertanya kepada kedua belas murid tentang siapa diri-Nya menurut pandangan mereka. Sekali lagi, Yesus tidak “gila hormat dan pengakuan”, akan tetapi tujuan Ia menanyakan kembali pada kedua belas murid-Nya merupakan penegasan belaka. Yesus menginginkan penegasan tentang diri-Nya tersebut bukan di dasarkan pada perkataan orang-orang, melainkan pada hati para murid sendiri.
          Jadi, apa hubungan pertanyaan Yesus pada kedua belas murid dengan ungkapan Petrus tentang siapa diri-Nya ?
          Letak hubungannya begini: Yesus menginginkan Petrus, yang menjadi representative manusia, memproklamasikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kepada setiap orang. Proklamasi itu lahir bukan dari kata orang, atau mendengar dari orang lain mengenai siapa Yesus, melainkan dari “sebuah pengalaman yang real dan hidup.” Proklamasi itu harus lahir dari seseorang yang menginginkan dirinya merdeka atau mengalami kemerdekaan, pembebasan, free life, penuh pengalaman bersama dengan Tuhan.
Dengan kata lain, proklamasi berbicara tentang suatu “kemerdekaan hidup”, “pembebasan dari dosa”, “mengalami pemulihan”, dan hidup yang sudah diubahkan oleh Tuhan.” Kemerdekaan, pembebasan, pemulihan, dan hidup yang diubahkan adalah hasil karya Tuhan bagi manusia. Hal ini sama dengan apa yang diucapkan oleh Yesus kepada Petrus, “berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.
Dengan demikian, Kunci Kerajaan Sorga adalah berbicara tentang suatu proklamasi atau pembebasan dari dosa-dosa, pemulihan, dan hidup yang diubahkan oleh Tuhan. Mari kita lihat apa yang terjadi pada diri Petrus mengenai hal ini.
Setelah Petrus mengungkapkan Proklamasi tersebut sebenarnya ia belum mengalami hidup yang diubahkan, kendati selalu bersama dengan Yesus, dan menyandang predikat “Murid.” Pada detik-detik kematian Yesus, Petrus pernah melontarkan pernyataan bahwa ia tidak akan pernah sedetikpun meninggalkan Gurunya. Tapi, Yesus berkata lain: “… sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali (Mat. 26:30-25).”
Perkataan Yesus ini terjadi dan benar. Petrus menyangkal Rabinya sendiri, dan pergi membiarkan Yesus disiksa, dihina, direndahkan, dilecehkan, dan bahkan mati di Salibkan. Petrus menyesal atas perkataannya itu. Sangkanya, ia telah menjadi manusia suci, benar, dan bertanggung jawab atas kepercayaan-Nya kepada Yesus, yang saat itu sedang diuji. Sama halnya dengan kesebelas murid. Mereka lari meninggalkan Yesus. Ironisnya, Yudas yang menghianati Yesus pergi menangis dan sedih. Sebagai kompensasi perasaan sedih atas penghianatan yang dilakukannya, Yudas mengakhiri hidupnya dengan menggantungkan dirinya.
Apa yang telah dilihat dengan kasat mata tentang apa yang diperbuat oleh Yesus pada masa-masa pelayanan-Nya tidak menjamin memberikan suatu perubahan hidup yang “radikal.” Ternyata, kekaguman akan Pribadi Yesus tidak cukup memberikan total garancy  perubahan, dan pengenalan akan Tuhan. Kedua belas murid hanya terbuai dengan kuasa, mujizat, dan hal-hal yang ajaib, dan tidak memperdulikan esensi dari “kedekatan” mereka bersama dengan Tuhannya.
Kisah ini tidak berhenti sampai di sini. Ending dari cerita ini adalah Petrus sadar, dan kembali pada kepercayaannya yang semula ketika dengan mata kepalanya sendiri melihat tragedy yang mengagumkan, yaitu “kebangkitan Yesus dari kubur.” Kemudian diteruskan dengan kenaikan Yesus ke sorga, yang meninggalkan pesan yang agung kepada banyak orang untuk memproklamasikan kemerdekaan, pembebasan, dan pemulihan hidup yang “sesungguhnya.”
Setelah menerima “urapan Roh Kudus” melalui peristiwa yang dahsyat, hari Pentakosta, Petrus dengan semangat yang “berapi-api” memproklamasikan siapa diri Yesus yang sebenarnya. Proklamasi itu dikumandangkan dalam khotbahnya di hadapan Mahkama Agama, dengan mengatakan demikian:

“Hai pemimpin-pemimpin umat dan tua-tua,… ketahuilah bahwa dalam Nama Yesus Kristus, orang Nazaret, yang kamu salibkan, tetapi telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati—bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri dengan sehat sekarang di depan kamu. Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan—yaitu kamu sendiri—namun telah menjadi batu penjuru. Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia (Yesus), sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kis. 4:9-12).”

Wow…!?? sungguh luar biasa proklamasi yang dilakukan oleh Petrus. Suatu tindakan yang penuh keberanian dan tanpa ada rasa takut. Padahal, orang-orang yang mendengarkan adalah orang-orang yang duduk di Mahkamah Agama yang ikut menyetujui, dan memberikan lisensi penghukuman salib yang kejam untuk Yesus.
Darimanakah keberanian Petrus saat itu? Saya pikir keberanian atau “otoritas proklamasi” diperoleh dari kemerdekaan, pembebasan, pemulihan, dan perubahan hidup yang radikal, yang tidak berasal dari sebatas kekaguman, melainkan mengalami kehidupan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga.
Singkatnya, benarlah nats yang mengatakan demikian: “Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2 Kor. 5:17).”



Kedua,
Kunci Kerajaan Sorga Berbicara Tentang
Suatu Hubungan (relationship)

          Kunci Kerajaan Sorga berbicara tentang suatu hubungan (relationship). Dalam ayat 17 dicatat:“Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.
          Proklamasi yang dilontarkan Petrus ternyata berasal dari Tuhan. Perlu untuk direnungkan mengapa Tuhan menyatakan kepada Petrus, sementara di hadapan Tuhan status manusia adalah “manusia berdosa”?
Inilah bentuk kasih Tuhan itu. Ia tidak memandang rupa, status, keadaan, dan keberdosaan manusia. Jika Tuhan mau melakukan rencana-Nya, maka Ia tidak memandang potensi yang dimiliki oleh seseorang. Lihat saja pemilihan Abraham, pengutusan Musa dan Yesaya. Ketiga orang percaya ini sama sekali tidak “masuk hitungan” Tuhan. Tapi herannya Tuhan malah memakai mereka. Inisiatif Tuhan ini menunjukkan bahwa kasih dan keputusan-Nya tidak dapat dipengaruhi oleh argumentasi manusia.
          Kembali pada pertanyaan di atas. Prakarsa Tuhanlah yang memberikan dan mencerahkan Petrus hingga ia dapat mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Hal ini menjadi indikasi  untuk mengatakan bahwa Tuhan rindu agar jalinan hubungan yang terputus akibat dosa terajut kembali melalui karya Anak-Nya, Yesus Kristus.
          Mungkin ada baiknya Anda saya ajak untuk me-remain (balik kebelakang) kembali tentang tujuan Tuhan menciptakan manusia.
          Pada awalnya ketika Tuhan menciptakan manusia, dasar penciptaan itu adalah inisiatif-Nya, dengan satu tujuan yaitu relationship. Apakah ini mengindikasikan bahwa Allah kesepian? Jawabannya: “Tidak!” Allah tidak kesepian. Dan Ia tidak akan pernah merasa sedih dengan kesendirian-Nya. Kalau mau jujur bahwa Tuhan sebenarnya sudah bahagia di Sorga dengan jalinan hubungan antara Diri-Nya, Anak-Nya, dan Roh Kudus.
          Tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan adalah agar manusia dapat merasakan Diri-Nya sendiri lewat hubungan. Hubungan itu diaplikasikan dalam 5 hal, yang menurut Warren adalah tujuan hidup manusia.
          Pertama, hubungan yang menyenangkan Tuhan secara personal. Hubungan menyenangkan Tuhan ini dilakukan dengan menyembah. Kata menyembah bukan hanya memiliki pengertian bahwa kita mengucapkan dengan bibir kita suatu nyanyian mazmur, “berbahasa roh” ataupun yang lainnya. Menyembah berarti tunduk, meniarap diri, menjatuhkan diri di hadapan hadirat Tuhan. Dapat juga diartikan sebagai penghormatan atau pemujaan yang ditunjukkan dengan berbagai cara untuk menghormati hadirat dan kemahakuasaan Tuhan, yang dilakukan dengan rendah hati, tunduk, dan takluk pada kekuasaan-Nya.
          Mari kita lihat bagaimana Allah menginginkan Adam menjalin hubungan yang menyenangkan Diri-Nya.
Pada saat Adam dan Hawa diciptakan, Allah memberikan suatu perintah yang “serius.” Perintah itu adalah “berpopulasi untuk memenuhi bumi”, “berkuasa menaklukkan seluruh isi alam (secara positif)” dan “jangan memakan buah yang ada di tengah-tengah Taman Eden.”   Dua perintah “positif” dan satu perintah yang sifatnya “melarang.”
          Kalau kita pikirkan kembali, jikalau ada dua perintah yang positif dan satu perintah yang melarang, maka itu berarti dua perintah positif seharusnya lebih direalisasikan daripada satu perintah larangan.
Maksudnya begini: Secara pandangan hukum, jikalau ada dua perintah yang menegaskan hal-hal yang harus dilakukan, maka itu berarti keabsahan hukum itu berlaku daripada satu hukum yang lain. Artinya, seharusnya pelaksanaan dua perintah itu lebih diperhatikan daripada satu larangan tadi. Jadi, Adam dan Hawa salah melihat dan merealisasikan perintah Tuhan. Seharusnya Adam dan Hawa tidak berpikir tentang satu larangan Tuhan mengenai larangan memakan buah pohon yang ada di tengah-tengah taman tadi, akan tetapi lebih kepada dua perintah positif untuk berpopulasi dan menguasai isi bumi.
Saya melihat di sini awal dari dosa Adam dan Hawa. Permulaan dosa Adam dan Hawa bukanlah pada waktu mereka mendengar Iblis, kemudian mereka tergoda dan memakan buah itu. Awal dosa Adam dan Hawa dimulai ketika dalam hati mereka tersirat ketidakinginan untuk membangun hubungan dengan Tuhan, dengan tunduk, hormat, dan melakukan dua perintah positif yang seharusnya dilakukan.
Mereka lebih meresponi alasan mengapa buah pohon itu tidak boleh dimakan. Mengapa Allah melarangnya, dan apa keistimewaan pohon itu? Mereka lebih mementingkan argumentasi-argumentasi rasio, dan mencoba “bersilat lidah” dengan Tuhan. Dalam hati mereka mungkin mengatakan, “ah…Tuhan tidak adil memberikan hanya 99,9% dari seluruh isi taman ini. Mengapa tidak semuanya?”
Untuk mendukung argumentasi di atas kita dapat melihat apa yang pernah dilontarkan oleh Tuhan Yesus mengenai penafsiran Hukum Taurat dalam Matius 5:27-28. Dalam ayat ini dikatakan demikian: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”
Apa maksud ayat ini? Memang konteks ayat ini berbicara tentang tindakan perzinahan yang sudah seringkali terjadi. Tuhan Yesus melihat bukanlah tindakan perzinahan itu awal dari dosa. Tetapi, motif atau dasar dari gerak hati itu yang menyebabkan dosa. Begitu juga dengan Adam dan Hawa. Motif Adam dan Hawa yang sudah tersirat dalam hati, yang diungkapkan dengan “penasaran” mereka terhadap satu larangan Tuhan tentang buah pohon itu.
Di sinilah yang saya maksudkan ketidak-tundukan mereka terhadap Allah. Posisi ketidak-taatan di dalam hati untuk tidak membangun hubungan dengan Tuhan. Hubungan yang diaplikasikan dengan penyembahan, yang didasarkan pada kerendahan hati dalam menghormati Tuhan, dan memposisikan Dia sebagai Penguasa Tunggal dalam hidup manusia.
Sikap hati, dasar hati atau motivasi inilah yang diteruskan pada keturunan manusia selanjutnya. Hati yang jahat, tidak mau takluk, dan lari dari tujuan yang seharusnya. Sikap hati yang tidak mau membangun kembali hubungan yang harmonis antara Allah dengan manusia.
Jika Anda membaca sejarah dalam Perjanjian Lama sampai dengan hadirnya Tuhan Yesus di dunia selama 3½ tahun, anda akan menjumpai banyak sekali sikap hati manusia yang tidak mau dipimpin oleh Allah. Sikap hati ini diwakilkan oleh Umat Pilihan Allah, yaitu Bangsa Israel. Padahal, Tuhan mau agar manusia kembali kepada-Nya. Bukti ini ditunjukkan Tuhan dengan memilih Umat-Nya untuk dikontrol Allah, di mana Ia menjadi Allahnya, dan Bangsa Israel menjadi umat Tuhan. Tujuannya hanya satu, yaitu hubungan, relationship. Allah menginginkan suatu hubungan. Hubungan secara personal (keintiman), di mana Allah dapat menyampaikan isi hatiNya kepada umat-Nya. Tuhan Yesus pernah mengatakan, “Aku mengenal domba-domba-Ku, dan domba-domba-Ku mengenal Aku (Yoh. 10:14).
Kedua, hubungan yang menyenangkan Tuhan yang diaplikasikan melalui hubungan interpersonal.
Keintiman yang dihasilkan melalui hubungan secara personal melahirkan hubungan yang menyenangkan Tuhan lewat hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal ini memiliki maksud suatu hubungan antar sesama. Yesus pernah menyatakan dengan tegas mengenai isi seluruh Hukum Taurat, yang dapat disimpulkan dengan 2 hukum. Ia menegaskan demikian:

“Jawab Yesus kepadanya: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:37-39).

Dari ayat ini kita menemukan suatu sinkronisasi. Suatu hubungan yang sama antara mengasihi Allah dengan sesama. Manusia yang mengasihi Allah harus diwujudnyatakan dengan mengasihi sesama. Kualitasnya sama. Sama-sama mengasihi dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan kita. Tidak ada alasan untuk mengatakan, “aku lebih mengasihi Allah daripada sesamaku manusia.”
Sinkronisasi itu juga ditujukan dengan mengasihi diri sendiri. Mengasihi Allah harus disamakan kualitasnya dengan mengasihi diri sendiri. Maksud pernyataan ini tidak ditekankan pada egosentrisme manusia. Sangat tidak logis jika manusia mengasihi Tuhan tetapi ia sendiri tidak mengasihi dirinya sendiri. Misalnya saja tentang Puasa.
Memang, Alkitab mencatat dan memberikan teladan dalam hal berpuasa. Tuhan Yesus, misalnya, Ia berpuasa 40 hari, 40 malam. Tidak makan dan tidak minum. Apakah ini bukti Yesus tidak mencintai diri-Nya sendiri? Tidak! Anggapan itu salah. Focus pada pelayanan Sempurna untuk dosa manusia lebih penting daripada Diri-Nya sendiri. Maksudnya, tujuan Yesus datang ke dunia ini memang untuk mengorbankan Diri-Nya bagi manusia berdosa. Puasa yang Yesus lakukan hanya suatu bentuk kesiapan Diri-Nya, dalam tanda kutip, Kemanusiaan-Nya.
Sebagai Manusia Sejati Ia tidak akan sanggup memenuhi tuntutan salib yang Ia harus jalani. Yesus mengetahui bahwa Jalan Salib (penderitaan) itu adalah jalan yang sangat “tragis” dan mengerikan. Ia tahu bahwa hanya melalui penderitaan, kesengsaraan, darah, air mata, dan kematian-Nya yang mampu menggenapi tuntutan Bapa atas vonis mati yang telah Ia jatuhkan pada manusia. Sangat wajar jika Yesus mengatakan, “Bapa, biarkanlah cawan ini berlalu daripada-Ku. Namun bukan kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.” Sekali lagi, puasa hanya sebagai bentuk kesiapan Tuhan Yesus dalam menghadapi penderitaan yang “mengerikan.”
So, apa hubungan puasa yang Yesus lakukan dengan kita, orang percaya, yang berpuasa? Menurut saya, bagi kita puasa adalah bentuk kesiapan, sama seperti Kristus yang menyiapkan diri dalam pelayanan-Nya. Bukan bentuk tindakan askase. Dengan sengaja menyiksa diri—seperti puasa, dll—demi kepentingan kekudusan dan kesempurnaan hidup. Selain bentuk kesiapan, tujuan puasa adalah melatih kita untuk dapat menguasai diri dalam segala hal.
Dengan kata lain, motivasi dari tindakan berpuasa itu harus dimengerti dan diluruskan. Jikalau berpuasa itu hanya untuk bentuk menguduskan diri di hadapan Tuhan, saya kira itu keliru. Sebab, tidak ada satupun manusia di muka bumi yang berkenan di hadapan Tuhan tanpa Tuhan yang memberikan perkenanan itu. Itulah sebabnya Alkitab menegaskan pada kita tentang iman. Iman yang didasarkan pada pengharapan akan Tuhan, tanpa sedikit pun keraguan terhadap-Nya, kendati pengharapan itu tidak pernah kita lihat (bandingkan Ibrani 11:1). Pengharapan yang didasarkan atas kepercayaan, faithfull  pada Tuhan. Dan, iman pun bukan berasal dari gagah dan perkasanya kita atau bentuk hasil karya kita, tetapi adalah pemberian Allah (Efesus 2:8-9).
Inilah yang dikatakan oleh Dompson tentang iman yang merupakan “system prioritas” dalam Kerajaan Allah. Allah, dalam Kerajaan-Nya sangat memprioritaskan orang-orang yang memiliki iman yang “tangguh.” Hal ini dikatakan dalam Ibrani 11:6, “tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.”
Kembali kepada pembahasan tentang mengasihi diri sendiri. Konteks ayat yang dibahas mengenai mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri adalah suatu bentuk menghargai hidup kita. Hidup yang telah diberikan Tuhan harus disyukuri. Apapun situasi dan keadaannya. Kehidupan itu harus diterima dan dimaknai. Mengasihi diri sendiri berarti memberikan makna hidup yang berarti. Hidup yang berarti bagi Allah, sesama, dan diri sendiri. Di sinilah peran ekspresi atau yang sering disebut aktualisasi diri diperlukan.
Manusia harus mengaktualisasikan dirinya bagi kepentingan secara luas dan seimbang. Allah, sesama manusia, dan diri sendiri. Tindakan aktualisasi diri memang sudah ada dengan sendirinya di dalam kehidupan manusia. Dan, Tuhan memang memberikan hal itu. Istilah yang sering digunakan adalah potensi atau talenta.
Singkatnya, kata mengasihi harus diaplikasikan pada bentuk yang vertical, pada Tuhan; horizontal, pada sesama kita; dan, central, yaitu pada diri sendiri. Tentunya secara seimbang dan komprehensif.       
Ketiga, hubungan yang menyenangkan Tuhan yang diarahkan pada pembentukan karakter Ilahi.
Karakter ilahi berbicara tentang kedewasaan rohani. Dewasa rohani mengarah kepada harapan Tuhan bagi manusia untuk menjadi serupa dengan gambar Kristus. Kembali kepada apa yang semula yaitu menjadi rupa dan gambar Allah.
Keempat, hubungan yang menyenangkan Tuhan yang ditujukan pada “Area Kerja Tuhan.”
Kelima, hubungan yang menyenangkan Tuhan dengan merealisasikan “Amanat Agung-Nya.”

Ketiga,
Kunci Kerajaan Sorga Berbicara Tentang
Suatu Visi (visionship)

Kunci Kerajaan Sorga berbicara tentang suatu visi (visionship). Hal ini tercatat dalam ayat 18 yang menyatakan demikian: “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.”

Keempat,
Kunci Kerajaan Sorga Berbicara Tentang
Suatu Kuasa (powership)

Kunci Kerajaan Sorga berbicara tentang suatu kuasa (powership). Ayat 19 mencatat: “… Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”